Rabu, 11 Oktober 2017

Cepat Mekar Cepat Matang Cepat Layu

Analisis Artikel
(http://rumahinspirasi.com/anak-anak-karbitan/)

Anak-anak yang Digegas menjadi Cepat Mekar Cepat Matang Cepat Layu

            Anak usia dini sedang berada pada masa golden age. Tidak ada salahnya jika orangtua melakukan segala hal yang terbaik untuk anaknya. Akan tetapi menjadi suatu masalah apabila orangtua tidak mengetahui dampak atau efek apa yang akan ditimbulkan dari apa yang telah dilakukannya. Sekarang banyak orangtua yang berlomba-lomba menyekolahkan anaknya di lembaga prasekolah favorit akan tetapi tidak diimbangi dengan melihat kemampuan yang dimiliki oleh anaknya. Akibatnya apabila anak mempunyai kemampuan intelektual/kognitif atau kemampuan lainnya yang belum selaras dengan tuntutan dari lembaga prasekolah favorit tersebut maka anak akan mengalami suatu “ketinggalan”. Sehingga orangtua memcarikan solusi dengan mencari-cari tempat kursus yang terbaik (jam belajar tambahan) di luar jam sekolah untuk anaknya. Dari kursus berhitung, bahasa hingga kursus fisik (menari, main musik, berenang). Sungguh mengerikan bukan? Anak usia dini yang seharusnya masih banyak waktu yang digunakan untuk bermain akan tetapi orangtua memberikan sebuah tuntutan untuk melakukan kegiatan guna mengasah kemampuananya secara berlebihan tanpa melihat dampak yang akan dirasakan oleh anak kedepannya.

            Jika kita dalami lagi, apakah salah orangtua atau suatu lembaga yang menuntut kemampuan anak untuk melebihi anak di sekolah lainnya atau pemerintah dengan ketetapannya? Menurut saya, pertama ini adalah salah suatu lembaga Sekolah Dasar yang menuntut anak yang masuk SD harus bisa calistung (membaca, menulis dan berhitung). Kedua, ini merupakan salah dari lembaga prasekolah yang berlomba-lomba untuk unggul pada pengembangan kemampuan anak untuk mampu calistung dan agar melahirkan anak-anak yang unggul melebihi anak-anak pada umumnya yang mengabaikan tahap perkembangan anak. Dan yang terakhir adalah salah orangtua yang hanya mengikuti arus perkembangan lingkungan sosial tanpa adanya pengetahuan mengenai tahap perkembangan kemampuan yang dilalui anak. Pada hal ini, Pemerintah Indonesia sebenarnya telah melakukan larangan untuk prasekolah atau TK (Taman Kanak-kanak) mengajarkan calistung. Pemerintah pada tahun 2009 mengelurakan Surat Edaran Direktorat Jendral Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah Nomor 1839/C.C2/TU/2009 perihal: Penyelenggaraan Pendidikan Taman Kanak-kana dan Penerimaan Siswa Baru Sekolah Dasar. Ada 3 hal yang ditekankan dalam surat edaran ini, yaitu:

1)      Pendidikan di TK tidak diperkenankan mengajarkan materi calistung secara langsung.

2)      Pendidikan di TK tidak diperkenankan memberikan pekerjaan rumah (PR) kepada anak didik dalam bentuk apapun.

3)      Setiap sekolah dasar (SD) wajib menerima peserta didik tanpa melalui tes masuk.



Anak-anak yang Digegas

Ada beberapa indikator untuk melihat berbagai ketidakpatutan terhadap anak. Diantaranya yang peling menonjol adalah orientasi pada kemampuan intelektual secara dini. Banyak anak-anak yang telah diasah kemampuan intelaktualnya sejak dini baik secara halus maupun paksa. Sehingga akan melahirkan anak-anak ajaib dengan kepintaran intelektual luar biasa melebihi teman-teman yang lainnya. Akan tetapi tetap saja hal tersebut harus disesuaikan dengan tahap perkembangannya. Tidak dapat dipungkiri masih banyak orangtua yang merasa bangga dengan anak usia dininya yang mempunyai intelektual luar biasa mendahului tahapan perkembangannya. Tetapi apakah mereka hanya memikiran pada masa emas tersebut dengan mengabaikan masa depan yang masih panjang?

Ada kasus seorang anak pintar karbitan yang terjadi pada tahun 1930. Seorang anak tersebut bernama William James Sidis, putra seorang psikiater. Kecerdasan otaknya membuat anak itu masuk Harvard College dengan usianya yang masih 11 tahun. Kecerdasan di bidang matematika megesankan banyak orang. Prestasinya sebagai anak jenius menghiasi berbagai media masa. Akan tetapi apa yang terjadi kemudian? James Thurber, seorang wartawan terkemukan pada suatu hari menemukan seorang pemulung mobil tua, yang tak lain adalah William James Sidis. Setelah ditelusuri kembali, ternyata William James Sidis adalah contoh sebuah model pendidikan baru sekaligus menyangkal sistem pendidikan konvensional oleh Ayahnya yaitu Boris. Hal tersebut juga merupakan keberhasilan yang dicapai Ayahnya. Akan tetapi William James Sidis tidak dapat menikmati masa kejayaan tersebut dengan jangka waktu lama. Saat Sidis berusia 46 tahun dia meninggal karena pendarahan otak. Pernah Sidis ketika sebelum meninggal mengatakan kepada pers, bahwa popularitas dan kehebatannya sebagai ahli matematika membuat dirinya malah tersiksa.

Dari kisah tersebut, kita dapat melihat bahwa ketidakbebasan pada waktu anak berada di masa usia dini membuat sosok anak hidup tidak bahagia pada masa dewasanya. Karena dia begitu frustasi dan kurangnya kemampuan lain (sosial, afeksi) yang sebelumnya tidak diajarkan oleh orangtua membuat dia kesepian serta banyak hal lain yang tidak dia alami di masa usia dininya sehingga ketika dewasa dihadapkan dengan sebuah masalah lain (diluar matematika) anak tidak mempu menyelesaikannya. Sidis ketika usia dini yang hanya menghabiskan waktu untuk mengasah kemampuan intelektualnya mengakibatkan dia melewatkan masa bermainnya. Maka, tidak selamanya anak yang mempunyai kemampuan intelektual melebihi anak pada umumnya merasa bahagia dalam hidupnya seperti kasus di atas.

Banyak kesuksesan yang diraih anak saat ia menjadi anak, tidak menjadi sesuatu yang bermakna dalam kehidupan anak ketika ia menjadi manusia dewasa.



Era pembedayaan otak mencapai masa keemasannya. Setiap orangtua dan pendidik berlomba-lomba menjadikan anak yang super. Kurikulum pun dikemas dengan muatan 90% bermuatan kognitif yang menfungsikan belahan otak kiri dan belahan otak kanan hanya mendapat 10% saja. Tentu saja hal tersebut menyebabkan ketidakseimbangan antara fungsi kedua belahan otak. Sehingga menyebabkan pengurasan penggunaan yang terlalu pada otak kiri dan kurang berfungsinya belahan otak kanan. Apabila ada anak yang unggul pada otak kanannya akan tetapi kurikulum mengutamakan kemampuan otak kiri maka anak akan merasa bahwa dirinya “bodoh” atau tidak mempunyai kemampuan. Padahal sesungguhnya apabila pembagian muatan kurikulum seimbangan yaitu 50% otak kanan dan 50% otak kiri maka anak-anak yang mempunyai keunggulan dengan otak kanannya akan mempunyai kesempatan yang sama untuk menunjukan bakatnya dan anak tersebut juga akan merasa bahwa dirinya mempunyai kelebihan.

Pada kenyataannya di Indonesia sendiri masih kurang mempedulikan kemampuan anak-anak yang menggunakan otak kanannya. Dapat kita lihat bahwa pemerintah kurang peduli dengan atlet-atlet yang telah mengharumkan nama Indonesia dan para musisi di Indonesia yang tidak diperhatikan oleh pemerintah. Sehingga wajar saja apabila orang-orang yang mempunyai kelebihan pada otak kanannya merasa minder. Padahal sesungguhnya apabila lingkungan benar-benar mendukung, anak-anak yang menggunakan otak kanan dapat sukses melebihi anak-anak yang menggunakan otak kiri.



“Early Ripe, Early Rot...!

            Masa golden age adalah masa di mana anak sedang berada pada perkembangan yang sangat cepat dan pesat. Dimana banyak orangtua yang tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Baik untuk mengajarkan berhitung, membaca dan menulis sejak saat itu. Akan tetapi sebagai orangtua harus mengetahui tentang apa yang dibutuhkan dan diinginkan anak. Orangtua atau orang dewasa lainnya (Guru TK) tidak boleh memaksakan anak untuk sesuai dengan kehendaknya. Lakukan sesuai dengan keinginan dan minat anak dan dilakukan dengan cara yang mengarahkan serta perlahan. Mengajarkan berhitung, membaca dan menulis juga harus sudah sesuai dengan tahap perkembangannya. Mengajarkan berhitung pada anak usia dini juga jangan dilakukan dengan rumus atau langsung menuju pada angka yang ditulis pada papan tulis akan tetapi dapat dilakukan dengan cara misalnya menggunakan cerita disertai menghadirkan benda konkretnya.

            Di Indonesia sendiri masih banyak orangtua yang menginginkan sesuatu yang instan pada anak-anaknya. Anak-anaknya yang masih berada di masa bermainnya dipaksa untuk segera bisa calistung (membaca, menulis dan berhitung). Tentu saja hal-hal yang instan itu tidak baik. Anak memang dapat melakukan apapun yang diminta oleh orangtuanya akan tetapi ada juga anak yang mentalnya sebenarnya menolak. Hingga pada saat-saat tertentu penolakan tersebut pasti akan meledak dengan sendirinya. Anak akan memberontak bahkan ada juga yang menjadi gila jika orangtua terlalu memaksa dan menuntut anak untuk bisa calistung (membaca, menulis dan berhitung) di masa usia dininya serta terjadi ketidaksiapan pada kognitifnya.



Pendidikan dilaksanakan dengan cara memaksa otak kiri anak sehingga membuat mereka cepat matang dan cepat busuk... early ripe, early rot!



            Anak-anak menjadi tertekan. Tekanan bertubi-tubi dalam memperoleh kecakapan akademik di sekolah membuat anak-anak menjadi cepat mekar. Anak-anak menjadi “miniatur orang dewasa”. Lihatlah sekarang, anak-anak bertingkah polah sebagaimana layaknya orang dewasa. Mereka perpaikaian seperti orang dewasa, berlaku pun juga seperti orang dewasa. Akan tetapi orangtua malah justru bangga. Sungguh ironis bukan?. Apakah orangtua tidak melihat bahwa itu salah? Apakah hal yang tidak layak tersebut menjadi suatu kebanggaan sendiri?. Padahal sesungguhnya hal tersebut akan membawa dampak hingga dewasa. Contoh kasus di Indonesia, salah satu stasiun TV Indonesia pernah ada sebuah acara untuk menunjukan bakat-bakat anak-anak Indonesia yang menampilkan suatu bakat apa yang dimiliki anak-anak tersebut. Ada seorang anak yang berpakaian layaknya orang dewasa dan bergaya ala-ala syahrini (cara berbicara, polahnya) membuat orang-orang tertawa. Jika ditelusuri kembali kita dapat melihat dampaknya. Yaitu meskipun anak tersebut hanya acting di layar televisi dapat juga di kehidupan nyatanya juga akan terbawa. Apalagi orangtua yang sudah terlanjur bangga dengan polah anak yang menjadi terkenal tersebut ikut mendukungnya (dengan mendadaninya layaknya orang dewasa).

            Disisi lain media pun merangsang anak untuk cepat mekar terkait dengan musik, buku, film, televisi, dan internet. Lihatlah maraknya program televisi yang belum pantas ditonton anak-anak yang ditayangkan di pagi atau pun sore hari. Media begitu merangsang keingintahuan anak tentang dunia seputar orang dewasa. Pendek kata media telah memekarkan bahasa, berpikir dan berperilaku anak tumbuh kembang secara cepat. Mungkin sebagian akan berpikir itu baik, karena anak dapat mengalami tumbuh kembang dengan cepat. Padahal sesungguhnya anak telah banyak melewatkan proses bahasa, berpikir dan berperilaku dalam kehidupan nyatanya. Anak-anak yang melihat sinetron-sinetron pada tayangan TV di Indonesia sebenarnya belum tentu dapat membedakan apakah itu kata-kata atau perilaku yang benar atau salah. Mereka hanya secara tidak sadar menirukan apa yang dilakukan idolanya (artis/aktor dalam sinetron) tersebut. Dampaknya akan dibawa dan diterapkan pada kehidupan nyatanya serta akan ditularkan kepada teman-teman sebayanya.



Perasaan dan emosi ternyata memiliki waktu dan ritmenya sendiri yang tidak dapat digegas atau dikarbit



            Bisa saja anak terlihat berpenampilan sebagai layaknya orang dewasa, tetapi perasaan mereka tidak seperti orang dewasa. Tumbuh mekarnya emosi sangat berbeda dengan tumbuh mekarnya kecerdasan (intelektual) anak.  Sebagai orangtua yang menjadi orang terdekat anak sudah seharusnya mendampingi dan mengarahkan emosi anak. Karena apabila anak mengalami tekanan emosi ketika berada di sekolah, di rumah anak perlu menyalurkannya kepada orangtua atau orang dewasa yang dekat dengannya. Dengan begitu emosi anak tidak menumpuk dan anak bisa merasa lega karena sudah menceritakannya.

            Akan tetapi apa yang terjadi pada anak-anak karbitan? Mereka yang tidak mampu melakukan keinginan orangtua atau orang dewasa lainnya (guru Tk) secara emosi akan mengalami ketidakstabilan dan mengalami gangguan kepribadian. Dan adapula orangtua yang sibuk dengan kariernya mengabaikan perkemabangan emosi yang dialami anak. Yang mereka tahu bahwa anak ketika sekolah sudah mengalami pengembangan intelektual yang baik karena di sekolahkan di lembaga yang mahal dan di rumah sudah terpenuhi kebutuhan fisik dengan baik  karena sudah ada baby sitter. Tentu saja hal-hal tersebut dapat menghambat perkembangan emosi anak.


 

KESIMPULAN

            Anak usia dini atau anak yang berada pada usia prasekolah sedang berada pada masa golden age dimana pertumbuhan dan perkembangan anak berkembang dengan pesat serta cepat. Tentunya orangtua banyak yang tidak ingin melewatkan masa tersebut dan melakukan yang terbaik untuk anaknya. Salah satunya dengan mencarikan lembaga prasekolah dan tempat-tempat kursus untuk anaknya. Hal tersebut memang bermaksud baik, akan tetapi apabila orangtua melakukan secara berlebihan dan terlalu memaksakan kehendaknya tanpa melihat kemampuan anak baik kognitif atau kemampuan lainnya tentu saja itu menjadi tidak baik. Orangtua dan orang dewasa lainnya harus memperhatikan tahap perkembangan anak apabila mengajarkan suatu hal pada anak. Anak juga jangan terlalu ditekankan pada kegiatan calistung (membaca, menulis dan berhitung) secara langsung. Karena hal tersebut dapat membuat tekanan dan beban untuk anak. Ingatlah, dunia anak usia dini adalah dunia bermain, jangan sampai  anak melewatkan hal penting ini karena masa ini tidak dapat diulang kembali.     Anak-anak yang cepat matang biasanya juga akan cepat layu, anak-anak sukses di masa anak-anaknya biasanya akan tumbang ketika dewasa. Karena siapa yang tahu, bahwa pada masa sukses tersebut sebenarnya bukan merupakan kebahagiaan anaknya hanya saja merupakan kebahagiaan orangtuannya. Maka sebagai orangtua, guru, pemerintah sudah selayaknya memberikan hal yang terbaik dan dampak yang baik pula untuk anak, baik di masa usia dininya maupun di masa yang akan datang.