(http://rumahinspirasi.com/anak-anak-karbitan/)
Anak-anak
yang Digegas menjadi Cepat Mekar Cepat Matang Cepat Layu
Anak
usia dini sedang berada pada masa golden
age. Tidak ada salahnya jika orangtua melakukan segala hal yang terbaik
untuk anaknya. Akan tetapi menjadi suatu masalah apabila orangtua tidak
mengetahui dampak atau efek apa yang akan ditimbulkan dari apa yang telah
dilakukannya. Sekarang banyak orangtua yang berlomba-lomba menyekolahkan
anaknya di lembaga prasekolah favorit akan tetapi tidak diimbangi dengan
melihat kemampuan yang dimiliki oleh anaknya. Akibatnya apabila anak mempunyai
kemampuan intelektual/kognitif atau kemampuan lainnya yang belum selaras dengan
tuntutan dari lembaga prasekolah favorit tersebut maka anak akan mengalami suatu
“ketinggalan”. Sehingga orangtua memcarikan solusi dengan mencari-cari tempat
kursus yang terbaik (jam belajar tambahan) di luar jam sekolah untuk anaknya.
Dari kursus berhitung, bahasa hingga kursus fisik (menari, main musik,
berenang). Sungguh mengerikan bukan? Anak usia dini yang seharusnya masih banyak
waktu yang digunakan untuk bermain akan tetapi orangtua memberikan sebuah
tuntutan untuk melakukan kegiatan guna mengasah kemampuananya secara berlebihan
tanpa melihat dampak yang akan dirasakan oleh anak kedepannya.
Jika
kita dalami lagi, apakah salah orangtua atau suatu lembaga yang menuntut
kemampuan anak untuk melebihi anak di sekolah lainnya atau pemerintah dengan
ketetapannya? Menurut saya, pertama ini adalah salah suatu lembaga Sekolah
Dasar yang menuntut anak yang masuk SD harus bisa calistung (membaca, menulis
dan berhitung). Kedua, ini merupakan salah dari lembaga prasekolah yang
berlomba-lomba untuk unggul pada pengembangan kemampuan anak untuk mampu
calistung dan agar melahirkan anak-anak yang unggul melebihi anak-anak pada
umumnya yang mengabaikan tahap perkembangan anak. Dan yang terakhir adalah
salah orangtua yang hanya mengikuti arus perkembangan lingkungan sosial tanpa
adanya pengetahuan mengenai tahap perkembangan kemampuan yang dilalui anak.
Pada hal ini, Pemerintah Indonesia sebenarnya telah melakukan larangan untuk
prasekolah atau TK (Taman Kanak-kanak) mengajarkan calistung. Pemerintah pada
tahun 2009 mengelurakan Surat Edaran Direktorat Jendral Manajemen Pendidikan
Dasar dan Menengah Nomor 1839/C.C2/TU/2009 perihal: Penyelenggaraan Pendidikan
Taman Kanak-kana dan Penerimaan Siswa Baru Sekolah Dasar. Ada 3 hal yang
ditekankan dalam surat edaran ini, yaitu:
1)
Pendidikan di TK tidak diperkenankan mengajarkan materi calistung
secara langsung.
2)
Pendidikan di TK tidak diperkenankan memberikan pekerjaan rumah (PR)
kepada anak didik dalam bentuk apapun.
3)
Setiap sekolah dasar (SD) wajib menerima peserta didik tanpa melalui
tes masuk.
Anak-anak
yang Digegas
Ada beberapa indikator
untuk melihat berbagai ketidakpatutan terhadap anak. Diantaranya yang peling
menonjol adalah orientasi pada kemampuan intelektual secara dini. Banyak
anak-anak yang telah diasah kemampuan intelaktualnya sejak dini baik secara
halus maupun paksa. Sehingga akan melahirkan anak-anak ajaib dengan kepintaran
intelektual luar biasa melebihi teman-teman yang lainnya. Akan tetapi tetap
saja hal tersebut harus disesuaikan dengan tahap perkembangannya. Tidak dapat
dipungkiri masih banyak orangtua yang merasa bangga dengan anak usia dininya yang
mempunyai intelektual luar biasa mendahului tahapan perkembangannya. Tetapi
apakah mereka hanya memikiran pada masa emas tersebut dengan mengabaikan masa
depan yang masih panjang?
Ada kasus seorang anak
pintar karbitan yang terjadi pada tahun 1930. Seorang anak tersebut bernama
William James Sidis, putra seorang psikiater. Kecerdasan otaknya membuat anak
itu masuk Harvard College dengan usianya yang masih 11 tahun. Kecerdasan di
bidang matematika megesankan banyak orang. Prestasinya sebagai anak jenius
menghiasi berbagai media masa. Akan tetapi apa yang terjadi kemudian? James
Thurber, seorang wartawan terkemukan pada suatu hari menemukan seorang pemulung
mobil tua, yang tak lain adalah William James Sidis. Setelah ditelusuri
kembali, ternyata William James Sidis adalah contoh sebuah model pendidikan
baru sekaligus menyangkal sistem pendidikan konvensional oleh Ayahnya yaitu
Boris. Hal tersebut juga merupakan keberhasilan yang dicapai Ayahnya. Akan tetapi
William James Sidis tidak dapat menikmati masa kejayaan tersebut dengan jangka
waktu lama. Saat Sidis berusia 46 tahun dia meninggal karena pendarahan otak. Pernah
Sidis ketika sebelum meninggal mengatakan kepada pers, bahwa popularitas dan
kehebatannya sebagai ahli matematika membuat dirinya malah tersiksa.
Dari kisah tersebut,
kita dapat melihat bahwa ketidakbebasan pada waktu anak berada di masa usia
dini membuat sosok anak hidup tidak bahagia pada masa dewasanya. Karena dia
begitu frustasi dan kurangnya kemampuan lain (sosial, afeksi) yang sebelumnya
tidak diajarkan oleh orangtua membuat dia kesepian serta banyak hal lain yang
tidak dia alami di masa usia dininya sehingga ketika dewasa dihadapkan dengan
sebuah masalah lain (diluar matematika) anak tidak mempu menyelesaikannya.
Sidis ketika usia dini yang hanya menghabiskan waktu untuk mengasah kemampuan
intelektualnya mengakibatkan dia melewatkan masa bermainnya. Maka, tidak
selamanya anak yang mempunyai kemampuan intelektual melebihi anak pada umumnya
merasa bahagia dalam hidupnya seperti kasus di atas.
Banyak kesuksesan yang
diraih anak saat ia menjadi anak, tidak menjadi sesuatu yang bermakna dalam
kehidupan anak ketika ia menjadi manusia dewasa.
Era pembedayaan otak
mencapai masa keemasannya. Setiap orangtua dan pendidik berlomba-lomba
menjadikan anak yang super. Kurikulum pun dikemas dengan muatan 90% bermuatan
kognitif yang menfungsikan belahan otak kiri dan belahan otak kanan hanya mendapat
10% saja. Tentu saja hal tersebut menyebabkan ketidakseimbangan antara fungsi
kedua belahan otak. Sehingga menyebabkan pengurasan penggunaan yang terlalu
pada otak kiri dan kurang berfungsinya belahan otak kanan. Apabila ada anak
yang unggul pada otak kanannya akan tetapi kurikulum mengutamakan kemampuan
otak kiri maka anak akan merasa bahwa dirinya “bodoh” atau tidak mempunyai
kemampuan. Padahal sesungguhnya apabila pembagian muatan kurikulum seimbangan yaitu
50% otak kanan dan 50% otak kiri maka anak-anak yang mempunyai keunggulan
dengan otak kanannya akan mempunyai kesempatan yang sama untuk menunjukan
bakatnya dan anak tersebut juga akan merasa bahwa dirinya mempunyai kelebihan.
Pada kenyataannya di
Indonesia sendiri masih kurang mempedulikan kemampuan anak-anak yang menggunakan
otak kanannya. Dapat kita lihat bahwa pemerintah kurang peduli dengan atlet-atlet
yang telah mengharumkan nama Indonesia dan para musisi di Indonesia yang tidak
diperhatikan oleh pemerintah. Sehingga wajar saja apabila orang-orang yang
mempunyai kelebihan pada otak kanannya merasa minder. Padahal sesungguhnya
apabila lingkungan benar-benar mendukung, anak-anak yang menggunakan otak kanan
dapat sukses melebihi anak-anak yang menggunakan otak kiri.
“Early
Ripe, Early Rot...!
Masa
golden age adalah masa di mana anak
sedang berada pada perkembangan yang sangat cepat dan pesat. Dimana banyak
orangtua yang tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan tersebut. Baik untuk
mengajarkan berhitung, membaca dan menulis sejak saat itu. Akan tetapi sebagai
orangtua harus mengetahui tentang apa yang dibutuhkan dan diinginkan anak.
Orangtua atau orang dewasa lainnya (Guru TK) tidak boleh memaksakan anak untuk
sesuai dengan kehendaknya. Lakukan sesuai dengan keinginan dan minat anak dan
dilakukan dengan cara yang mengarahkan serta perlahan. Mengajarkan berhitung,
membaca dan menulis juga harus sudah sesuai dengan tahap perkembangannya. Mengajarkan
berhitung pada anak usia dini juga jangan dilakukan dengan rumus atau langsung
menuju pada angka yang ditulis pada papan tulis akan tetapi dapat dilakukan
dengan cara misalnya menggunakan cerita disertai menghadirkan benda konkretnya.
Di
Indonesia sendiri masih banyak orangtua yang menginginkan sesuatu yang instan
pada anak-anaknya. Anak-anaknya yang masih berada di masa bermainnya dipaksa
untuk segera bisa calistung (membaca, menulis dan berhitung). Tentu saja
hal-hal yang instan itu tidak baik. Anak memang dapat melakukan apapun yang
diminta oleh orangtuanya akan tetapi ada juga anak yang mentalnya sebenarnya
menolak. Hingga pada saat-saat tertentu penolakan tersebut pasti akan meledak
dengan sendirinya. Anak akan memberontak bahkan ada juga yang menjadi gila jika
orangtua terlalu memaksa dan menuntut anak untuk bisa calistung (membaca,
menulis dan berhitung) di masa usia dininya serta terjadi ketidaksiapan pada
kognitifnya.
Pendidikan dilaksanakan dengan cara
memaksa otak kiri anak sehingga membuat mereka cepat matang dan cepat busuk...
early ripe, early rot!
Anak-anak
menjadi tertekan. Tekanan bertubi-tubi dalam memperoleh kecakapan akademik di
sekolah membuat anak-anak menjadi cepat mekar. Anak-anak menjadi “miniatur
orang dewasa”. Lihatlah sekarang, anak-anak bertingkah polah sebagaimana
layaknya orang dewasa. Mereka perpaikaian seperti orang dewasa, berlaku pun
juga seperti orang dewasa. Akan tetapi orangtua malah justru bangga. Sungguh
ironis bukan?. Apakah orangtua tidak melihat bahwa itu salah? Apakah hal yang
tidak layak tersebut menjadi suatu kebanggaan sendiri?. Padahal sesungguhnya
hal tersebut akan membawa dampak hingga dewasa. Contoh kasus di Indonesia,
salah satu stasiun TV Indonesia pernah ada sebuah acara untuk menunjukan bakat-bakat
anak-anak Indonesia yang menampilkan suatu bakat apa yang dimiliki anak-anak
tersebut. Ada seorang anak yang berpakaian layaknya orang dewasa dan bergaya
ala-ala syahrini (cara berbicara, polahnya) membuat orang-orang tertawa. Jika
ditelusuri kembali kita dapat melihat dampaknya. Yaitu meskipun anak tersebut
hanya acting di layar televisi dapat
juga di kehidupan nyatanya juga akan terbawa. Apalagi orangtua yang sudah
terlanjur bangga dengan polah anak yang menjadi terkenal tersebut ikut
mendukungnya (dengan mendadaninya layaknya orang dewasa).
Disisi
lain media pun merangsang anak untuk cepat mekar terkait dengan musik, buku,
film, televisi, dan internet. Lihatlah maraknya program televisi yang belum
pantas ditonton anak-anak yang ditayangkan di pagi atau pun sore hari. Media
begitu merangsang keingintahuan anak tentang dunia seputar orang dewasa. Pendek
kata media telah memekarkan bahasa, berpikir dan berperilaku anak tumbuh
kembang secara cepat. Mungkin sebagian akan berpikir itu baik, karena anak
dapat mengalami tumbuh kembang dengan cepat. Padahal sesungguhnya anak telah
banyak melewatkan proses bahasa, berpikir dan berperilaku dalam kehidupan
nyatanya. Anak-anak yang melihat sinetron-sinetron pada tayangan TV di
Indonesia sebenarnya belum tentu dapat membedakan apakah itu kata-kata atau
perilaku yang benar atau salah. Mereka hanya secara tidak sadar menirukan apa
yang dilakukan idolanya (artis/aktor dalam sinetron) tersebut. Dampaknya akan
dibawa dan diterapkan pada kehidupan nyatanya serta akan ditularkan kepada
teman-teman sebayanya.
Perasaan dan emosi ternyata
memiliki waktu dan ritmenya sendiri yang tidak dapat digegas atau dikarbit
Bisa saja anak
terlihat berpenampilan sebagai layaknya orang dewasa, tetapi perasaan mereka
tidak seperti orang dewasa. Tumbuh mekarnya emosi sangat berbeda dengan tumbuh
mekarnya kecerdasan (intelektual) anak. Sebagai orangtua yang menjadi orang terdekat
anak sudah seharusnya mendampingi dan mengarahkan emosi anak. Karena apabila
anak mengalami tekanan emosi ketika berada di sekolah, di rumah anak perlu
menyalurkannya kepada orangtua atau orang dewasa yang dekat dengannya. Dengan
begitu emosi anak tidak menumpuk dan anak bisa merasa lega karena sudah
menceritakannya.
Akan
tetapi apa yang terjadi pada anak-anak karbitan? Mereka yang tidak mampu
melakukan keinginan orangtua atau orang dewasa lainnya (guru Tk) secara emosi
akan mengalami ketidakstabilan dan mengalami gangguan kepribadian. Dan adapula
orangtua yang sibuk dengan kariernya mengabaikan perkemabangan emosi yang
dialami anak. Yang mereka tahu bahwa anak ketika sekolah sudah mengalami
pengembangan intelektual yang baik karena di sekolahkan di lembaga yang mahal
dan di rumah sudah terpenuhi kebutuhan fisik dengan baik karena sudah ada baby sitter. Tentu saja hal-hal tersebut dapat menghambat
perkembangan emosi anak.
KESIMPULAN
Anak
usia dini atau anak yang berada pada usia prasekolah sedang berada pada masa golden age dimana pertumbuhan dan
perkembangan anak berkembang dengan pesat serta cepat. Tentunya orangtua banyak
yang tidak ingin melewatkan masa tersebut dan melakukan yang terbaik untuk
anaknya. Salah satunya dengan mencarikan lembaga prasekolah dan tempat-tempat
kursus untuk anaknya. Hal tersebut memang bermaksud baik, akan tetapi apabila
orangtua melakukan secara berlebihan dan terlalu memaksakan kehendaknya tanpa
melihat kemampuan anak baik kognitif atau kemampuan lainnya tentu saja itu
menjadi tidak baik. Orangtua dan orang dewasa lainnya harus memperhatikan tahap
perkembangan anak apabila mengajarkan suatu hal pada anak. Anak juga jangan
terlalu ditekankan pada kegiatan calistung (membaca, menulis dan berhitung)
secara langsung. Karena hal tersebut dapat membuat tekanan dan beban untuk
anak. Ingatlah, dunia anak usia dini adalah dunia bermain, jangan sampai anak melewatkan hal penting ini karena masa
ini tidak dapat diulang kembali. Anak-anak
yang cepat matang biasanya juga akan cepat layu, anak-anak sukses di masa
anak-anaknya biasanya akan tumbang ketika dewasa. Karena siapa yang tahu, bahwa
pada masa sukses tersebut sebenarnya bukan merupakan kebahagiaan anaknya hanya
saja merupakan kebahagiaan orangtuannya. Maka sebagai orangtua, guru,
pemerintah sudah selayaknya memberikan hal yang terbaik dan dampak yang baik
pula untuk anak, baik di masa usia dininya maupun di masa yang akan datang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar